Rabu, 22 Februari 2012

Cinta itu rasanya seperti ketika ibumu harus sedia pasung sebelum anaknya gila…


Agama itu adalah candu begitu Karl Marx bilang, hanya saja bagi orang yang jatuh cinta, yang menjadi candu itu adalah cinta. Bahkan Jody Picoult dalam Vanishing Act bilang, jika Cinta adalah kecanduan yang berbahaya. Cinta mengubah kita menjadi orang yang bukan diri kita. membuat kita menderita, dan membuat kita melakukan hal-hal yang mustahil, merusak kita untuk semua yang lain.



Beberapa orang mungkin setuju jika cinta rasanya seperti narkotik. Mula-mula mendatangkan euforia penyerahan diri, lalu berikutnya kau menginginkan lebih banyak. Kau belum kecanduan, tapi kau menyukai sensasinya dan kau masih bisa mengendalikan semuanya. Kau memikirkan orang yang kau cintai selama dua menit dan melupakannya selama tiga jam.Tapi kemudian kau terbiasa dengan orang itu, dan mulai bergantung sepenuhnya pada mereka. Sekarang kamu memikirkannya tiga jam & melupakannya selama dua menit. Kalau ia tak ada, kau merasa seperti pecandu yang selalu membutuhkan morfin. Dan seperti halnya pecandu yang akan mencuri & mempermalukan diri sendiri demi memenuhi kebutuhan mereka. Kau pun bersedia melakukan apa saja demi cinta. Seperti halnya yang dirasakan seorang tokoh rekaan Paulo Coelho dalam In The River Piedra I Sat Down and Wept.



Aku bahkan berani bertaruh ketika kau jatuh cinta adalah masa-masa paling gila dalam hidupmu. Memang benar pengarang ikal Andrea Hirata itu, katanya “cinta dan gila itu samar saja bedanya”.



Bayangkan saja ketika suatu waktu dia berbisik di telingamu, katanya “I Love You…” atau “aku cinta sama kamu Neng…cinta sekali melebihi diriku sendiri” okay kau akan bilang dia yang kau cintai itu gombal, rajanya deh melebihi Raja Gombal yang ada di tv. Tapi, ketika kau jatuh cinta, kalimat gombal sejenis itu akan cukup membuatmu berlari menyusuri aspal, tak peduli jika kakimu tak memakai sandal kau selalu ingin sekali berlari tanpa berhenti sampai kakimu melepuh karena aspal (kebetulan kau berlari ketika matahari sedang angot-angotnya), kau juga akan berteriak pada setiap orang ”woy…ada orang yang mencintai aku, kamu tahu…ada orang yang mencintai aku” kau pelototi setiap orang di jalanan untuk meyakinkan mereka jika sekarang kau punya seseorang untuk bersandar, seseorang yang tawanya membuat kamu begitu bahagia.



Hari-hari ketika kau jatuh cinta adalah hari dimana seluruh dunia yang kau kenali menjadi tuli, kau tuli karena telingamu hanya bisa mendengar kalimat cinta, cumbu rayu dari kekasihmu itu, sementara mereka…teman-temanmu, adikmu, saudara sepupumu, keponakan, terpaksa tuli akibat dirimu yang tidak bisa berhenti berbicara tentang dia, dia, dan dia orang yang kau cinta. Baiklah, mereka harus maklum jika dalam kamus hidupmu saat itu kau hanya mengenal satu bahasa, bahasa cinta.



Lalu ada saat dimana kau memandang kekasihmu, matanya…hidungnya…pipinya…bibirnya yang ingin kau lumat setiap saat itu, ah…dan bahwa suatu saat nanti kau mungkin tak lagi bisa mengingat warna matanya dengan tepat, sentuhan kulitnya yang dingin, serta tekstur suaranya. Kau tidak bisa memikirkannya, tapi kau harus mengingatnya.Karena satu hal yang perlu kuyakini agar kau bisa hidup-kau harus tahu dia ada. Itu saja. Yang lain-lain masih bisa kau tahan. Pokoknya asal dia ada…Dia yang kau cinta itu. Seperti halnya Bella Swan mengingat Edward Cullen dalam Twilight Saga. Saat kau bersamanya, kau akan berusaha merekam kehadirannya dengan seluruh indramu.



Di waktu yang lain kau sampai pada momen dimana kekasihmu menciummu, sekedar ciuman di pipi saja atau di kening, ah kau tahu kan jika kau akan mengingatnya, bibirmu akan tersenyum lalu tertawa, tersenyum…hingga orang-orang bilang kau memang sedang gila. Lalu tak peduli jika kau hanya memakai celana pendek dan kutang, kau (selalu) ingin berdiri di perempatan jalan sambil menyeret toa masjid dan pengumuman dengan sekeras-kerasnya….“Dengar yah semuanya, pengumuman penting hari ini untuk pertama kalinya aku merasa diinginkan, aku dibutuhkan, aku dikagumi, seseorang membuatku merasa berharga.” Orang-orang kemudian harus maklum jika untuk seterusnya mereka melihatmu menggaruk-garuk dinding atau bercermin di kaca sambil memperlihatkan senyummu yang mendadak teramat manis. Semanis ciuman di pipimu itu.



Hari itu kau membuktikan apa yang di bilang oleh Pope Joan, seorang Paus wanita,– tokoh fiksi tentu saja– yang ada dalam buku Donna Woolfolk Cross, katanya “Cinta adalah sebentuk penyakit. Cinta mengubah orang, membuat mereka bertingkah dan berperilaku aneh serta tidak rasional.”



Seperti hari ini misalnya saat kau bercermin di kaca, kau dapati disana sebuah wajah berbinar, mata bersinar seperti ketika fajar merekah di pagi hari…di cerminmu ada aku, aku yang sedang jatuh cinta. Begitulah, aku mungkin bisa mendeskripsikan kegilaanmu ketika jatuh cinta tapi seperti kata Dee dalam Madre, tetap saja cinta itu juga seperti arsitektur, tidak bisa dipahami hanya dengan diceritakan, harus dirasakan dan diselami untuk bisa disimpulkan. Walau begitu mungkin ibuku harus memulai memikirkan untuk memasung anaknya yang mendadak terdiagnosa kegilaan akibat cinta. Teman, jika kau bertemu ibuku tolong bilang jika dia harus sedia pasung sebelum anaknya gila…